31 Desember 2008

Sebuah Kejutan

“SURPRISE!!!”

Marcel tercengang.

Bagaimana tidak? Dia baru saja mengumpat dalam hati. Ini hari Sabtu dan dia harus lembur. Toko retail perusahaannya harus dibuka hari ini juga padahal masih banyak masalah teknis. Sialnya itu adalah bagian dari jobdescnya.

Dan sekarang seluruh teman selantainya di kantor ada di sini. Dengan mimik lucu di wajah mereka, tertawa riang sekali karena Marcel otomatis bengong melihat mereka.

“Halah!! Kaget ya Cel?”teriak Mala, sekretaris tata usaha yang berisiknya minta ampun.

“Selamat ulang tahun yaaa!!” kata David, manager programming yang katanya hari ini tidak bisa datang karena ada urusan mendesak.

Bersama sekian banyak ucapan selamat yang ditujukan padanya.

Marcel membalas dengan tertawa kurang yakin tanpa konsentrasi. Dia berusaha mengingat tanggal. Hey.. ini memang hari ulang tahunnya. Sejenak kemudain dia menghitung, berapa umurnya saat ini. Tepat pada saat itu, seloyang kue ulang tahun muncul lengkap dengan lilin yang menyala.

28.

Aahh… aku sudah 28 tahun.

Iringan lagu Happy Birthday sengaja dinyanyikan dengan fals oleh teman-temannya. Marcel terharu. Tapi tentu saja itu tidak dia tunjukkan terang-terangan. Tidak seperti Rida yang kemarin itu hampir menangis di kantor waktu mereka tiba-tiba memberi hadiah ulang tahunnya. Jam tangan dan tas yang sudah lama dia inginkan.

Lagu Happy Birthday berganti dengan lagu Tiup Lilinnya. Mereka masih tertawa-tawa. Dikelilingi kabel-kabel komputer yang sedang Marcel kerjakan. Marcel melihat sekelilingnya. Teman-temannya yang sudah bekerja bersama selama 3 tahun.

Ah…

Sekali lagi Marcel menghela napas. Lalu langsung dia sembunyikan kekecewaannya.

Dia tidak datang.

Teman-temannya memaksa dia membuat birthday wish. Marcel memejamkan mata dan berharap sekenanya. Tahun depan tetap sehat, naik pangkat, dan cepet kaya. Dia hampir tergoda untuk berharap tentang dia. Tapi berharap apa?

Lilin ditiup dengan sukses. Mati dalam sekejap. Langsung saja lagu berganti. Potong Kuenya. Masih suasana tertawa dan riang. Marcel memotong kue dan mengoleskan sedikit krim di wajah David. Candaan yang biasa di antara mereka.

Tapi ada ruang di hatinya yang tidak tertawa. Ada ruang di hatinya yang terasa sepi.

Beberapa orang mulai menyodorkan hadiah. Tidak banyak karena biasanya mereka urunan untuk itu. Marcel berkata itu tidak perlu (“Ngapain repot-repot?!”) dan dia senang teman-temannya ada di sini (“Lo orang inget aja gue udah syukur!”). Hadiah itu diterimanya dengan uacapan terima kasih.

Beberapa saat, mereka mengobrol tidak jelas. Marcel bertanya ini ide siapa. Yang lain berebutan menjawab dan akhirnya jadi ribut. Belum lagi rebutan kue yang memang tidak besar itu. Tapi tidak ada dia.

Marcel merasa penat.

“Ngerokok dulu yee,” katanya sambil berlalu pergi. Tidak menunggu siapa pun karena memang dia ingin sendiri.

Dia keluar melalui pintu depan, lalu melangkah ke lahan parkir. Menemukan mobilnya dan bersandar di situ.

Sebentar kemudian, rokok sudah terselip di jarinya, asap sudah mengepul di sekitarnya.

Stella. Satu nama di pikiran. Dan mungkin di hatinya? Marcel belum memutuskan.

Marcel baru mengenalnya tiga bulan. Stella, mahasiswa magang yang ceroboh. Stella yang selalu tertawa. Stella yang membuatnya bisa menepikan sejenak cinta tak berbalasnya pada Lani selama tiga tahun. Dan menghilangkannya sama sekali. Tanpa bekas.

Stella yang jujur. Stella yang gemar mendownload manga scan di sela waktu kerjanya. Stella yang…

Aahh… Helaan napas ketiga hari ini.

Padahal menghela napas bisa mengusir keberuntungan jauh-jauh. Satu hal yang sering Marcel sering katakan pada Stella waktu dia mentok menghadapi kerjaan dan atasannya.

Apa keberuntungan memang menjauh dariku hari ini?

Marcel membuang puntung rokoknya ke jalan dan menginjaknya. Menimbang-nimbang untuk mengisap rokok kedua.

Stella yang tidak suka dia merokok karena dia jadi bau rokok.

Tangan Marcel langsung bergerak tangkas mengeluarkan rokok dari kotaknya, lalu pemantik dari saku kemejanya. Toh hari ini dia tidak akan bertemu Stella.

Marcel baru saja akan menyalakan rokok keduanya itu, ketika matanya menangkap sosok yang tidak asing.

Sosok itu baru saja turun dari bus. Mengenakan kaos bergambar lucu, celana jins, dan sepatu ketsnya. Dia berlari-lari kecil, memburu waktu sambil terus mengetik pesan di ponselnya.

Ups.. dia tersandung. Dia terjatuh dan isi tasnya berhamburan. Rupanya dia belum meresleting tasnya setelah mengeluarkan ponsel.

Dasar ceroboh, pikir Marcel. Tertegun karena sejak melihat sosok itu dia belum berpikir. Hanya perasaannya makin membumbung tinggi.

Dengan cepat pula, Marcel menyimpan rokok dan pemantik di sakunya, dan berjalan cepat ke arahnya. Sosok yang sedang mengumpulkan barang-barangnya yang bertebaran di jalan.

“Makanya kalau jalan liat-liat. Jangan SMSan terus.” Katanya singkat dengan nada galak bercanda yang khas dirinya.

“Pak Marcel!” Sosok itu mengangkat kepalanya terkejut. Wajahnya memerah dan tersenyum malu. Mungkin malu ketahuan jatuh. Mungkin karena hal lain. Yang jelas, senyum Marcel makin mengembang menatapnya.

“Hi Stel..” Terima kasih ucapan selamatnya. Terima kasih kamu ada di sini.



P.S. : kasih comment ya buat yang udah baca, makasih ^^





Tidak ada komentar: