Kenapa saya memilih membeli buku ini? Sederhana. Karena buku ini “jualan” dengan tagline “Kisah anak sopir angkot yang menjadi direktur di New York City”. Dan saya lagi butuh inspirasi/motivasi. Hehehe..
Berapa banyak dari kita yang bisa sukses di kota New York? Anak sopir angkot pula. Tapi Iwan Setyawan, penulis buku sekaligus sang tokoh utama, membuktikan bahwa dia bisa. Dengan pendidikan dan kerja keras, Iwan bisa berhasil menembus garis tak terlihat yang diakibatkan perbedaan kemampuan ekonomi.
Tapi kalau hanya itu saja, tentunya saya tidak akan repot mereview buku ini kan? Yang membuat novel ini menarik adalah cara penuturan dan sudut pandang yang diambil penulis.
Kisah Iwan ini tidak tertulis secara kronologis. Jangan mengharapkan dia merekap kisahnya secara berurutan dari dia kecil sampai besar. Melainkan, dia mengutip beberapa kisah penting dari masa kecilnya hingga sekarang, dan menuturkannya kepada seorang bocah. Seakan-akan, kita sebagai pembaca hanya mencuri dengar. Bahkan sampai sekarang, saya masih belum mengerti siapa bocah itu, apakah dia benar-benar ‘ada’? Kesan keseluruhan, Iwan seperti sedang melakukan flash back ke masa lalu di sela-sela kehidupannya di New York. Mungkin juga, ini dimaksudkan supaya kita mendapat gambaran perbandingn dalam gaya hidup yang dianutnya, baik yang masih tetap sama, serta yang sudah berbeda.
Kemudian, bukannya menyorot secara langsung bagaimana dia bekerja keras mencari uang demi melanjutkan pendidikan, Iwan bertutur mengenai satu persatu tokoh-tokoh penting dari masa kecilnya. Inti dari cerita ini tidak hanya tentang Iwan. Tapi mengenai betapa pentingnya peran keluarga dalam membentuk karakter seseorang. Orang tua dan empat saudara perempuan Iwan diceritakan satu demi satu di sini, kelebihan maupun kekurangan mereka. Walaupun hidup pas-pasan, tapi mereka satu, mereka saling mendukung. Iwan mencintai mereka semua.
Iwan juga bercerita tentang pertemuannya dengan beberapa orang yang berpengaruh terhadap pola pikir dan jalan hidupnya. Saya merasakan persamaan dengan Iwan di sini. Pengalaman bertemu dan berkenalan dengan orang-orang yang mungkin tanpa mereka sadari, merubah arah hidup kita sama sekali. I’d like to call it meetings by fate.
Dan saya suka sekali pilihan kata-kata Iwan. Bahasa Indonesia yang ia gunakan terdengar terbaca indah dan manis. Salah satu poin yang menjadikan cerita terasa mengalir tanpa beban. Apa mungkin karena belakangan ini saya membaca karya terjemahan ya? Kurangnya kosakata bahasa Indonesia mungkin kurang menangkap makna bahasa asli karya tersebut.
Terakhir, kesan setelah selesai membaca 9 Summers 10 Autums adalah ‘sederhana’. Bukan motivasi berapi-api yang terus menerus dinyatakan. Ini adalah kisah cinta antara Iwan dengan keluarganya, dan kebetulan, cinta itu membawanya ke kota New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar